Pembaca : Asaduddin Al Hawari
Editor : Asaduddin Al Hawari
Suara : Zaid
Kita berada di hadapan sebuah cara berpikir yang timpang. Bahkan ia sangat bingung dalam mendeskripsikan realitas dan mencari solusinya, serta dalam memberikan landasan-landasan hukum syariat terhadap persoalan-persoalan partikular yang terjadi di tengah masyarakat. Sehingga, pada akhirnya orang-orang yang terjangkit penyakit ini akan berpikir perlunya untuk berbenturan dengan seluruh masyarakat dunia. Benih pemikiran ini sudah ada pada sosok Hasan al-Banna, sebagaimana yang ia dedahkan dalam “Risalah al-Mu’tamar al-Khamis”. Kemudian perbincangan mengenai hal ini semakin meluas di tangan Sayyid Qutb dalam “Fi Dzilal Al-Qur’an”. Kemudian benar-benar menjadi sebuah kerusakan di tangan ISIS dalam “Idaroh al-Tawahhusy”.
Di sini saya ingin menegaskan bahwa “Risalah al-Mu’tamar al-Khamis” karya Hasan al-Banna merupakan sebuah pemikiran yang sangat tidak populer. Penuh dengan nuansa psikologi yang tidak stabil, penuh dengan pertikaian dan benturan. Di dalamnya seakan-akan anda melihat gambaran cikal-bakal ISIS. Karenanya, perlu dilakukan studi kritik yang lebih luas terhadap pemikiran-pemikiran Hasan al-Banna yang menjelaskan semangat dan sikap reaktif di dalamnya. Yang pada akhirnya melahirkan nalar berpikir Ikhwanul Muslimin secara utuh, dan menjadi dasar lahirnya pemikiran radikal yang terkandung di dalamnya.
Cara pandang haraki (pergerakan) ini bercampur menjadi satu dengan pemikiran konservatif, eksklusif, dan sempit pada banyak kelompok. Pada akhirnya pemikiran ini meniupkan api ke dalam pemikiran yang masih prematur, sehingga terjadilah kebakaran. Siapapun yang memperhatikan tindak-tanduk orang-orang seperti Abu Muhammad al-Maqdisi dan Abu Mus’ab al-Zurqani beserta pemikiran radikal dan buku-buku mengenainya yang menjadi pijakan mereka, juga kalangan takfiri dan kelompok radikal bersenjata yang mengikuti mereka, maka pasti melihat dampak pemikiran haraki yang sangat buruk, yang semakin membuat pemikiran takfiri eksis dan menyebar.
Adanya ulasan kami yang fokus terhadap pemikiran Sayyid Qutb di sejumlah tempat dalam buku ini, bukan berarti krisis radikalisme ini hanya ada pada dirinya. Namun sejatinya benih-benih pemikirannya sudah ada dalam tulisan-tulisan Hasan al-Banna. Ia mengambil pemikiran tersebut dari kelompok-kelompok bersenjata dan takfiri sebelumnya. Akan tetapi Sayyid Qutb-lah yang menulis dan menjelaskan pemikiran ini secara panjangan lebar serta meniupkan spirit di dalam benih yang sudah ditabur oleh Hasan al-Banna tersebut. Dengan demikian Sayyid Qutb adalah sosok yang senantiasa menyirami benih tersebut hingga tumbuh berkembang.
Sehingga saat ini dihadapan kita terpampang peta pemikiran Khawarij dalam berbagai bentuk dan namanya. Jumlah kelompok sempalannya mencapai dua puluh lima kelompok. Kelompok ini memiliki akar yang sangat panjang, yang muncul dan menghilang lagi dalam beberapa abad, dan kemudian muncul kembali. Kemunculan mereka seiring dengan kemunduran lembaga-lembaga keilmuan yang besar, seperti Al-Azhar, Al-Qarawiyin, pondok pesantren dan sekolahan-sekolahan yang mengajarkan ilmu-ilmu yang otentik (turats). Setiap kali lembaga-lembaga keilmuan itu hidup dengan berbagai aktivitas keilmuannya maka pemikiran radikal ini akan hilang, dan saat lembaga-lembaga itu meredup maka pemikiran radikal ini akan terlahir kembali.